Siang itu, matahari tepat di ujung kepala. Agak aneh, melihat 3 mahasiswi gak jelas yang mondar-mandir di ruang super luas yang biasanya bisa menampung ribuan orang. Bingung, antara mendekati meja makan (yang ternyata nggak gratis) atau menyegerakan panggilan Ilahi. Tapi perut yang tak terkendali memaksa kami mendekati meja makan dan makan juga akhirnya, biarlah. Sekilas tatapan mata bertemu dengan tatap teduh dan meyakinkan itu. Hanya sekilas saja, 2 detik. 2 detik paling berharga, sudah lebih dari cukup.
*Bertahun kemudian...
"Dia janji akan datang..." wanita ini sendu dalam harap nya
"Dia tidak akan datang!" jawabku tegas
Aku lebih mengetahui apa yang dia rasakan, aku lebih dari sekedar tahu semua tentang dirinya. Semua, bahkan aku khawatir aku bahkan lebih tau dari dirinya sendiri. Ah... biarlah kesunyian ini jadi saksi.
"Dia bilang 'iya' ketika aku menawarkan untuk bertemu." Wanita ini masih berharap rupanya.
Ah, malas sekali aku aku menanggapi. Terserah, berbicaralah sesukamu. aku sedang tidak bernafsu mendebat. Bahkan kalau saja ia tidak nekat menyeretku dari tempat tidur pagi tadi, sekarang bahkan aku belum beranjak. Menyebalkan sekali, orang-orang yang sedang dimabuk cinta ini memang (sangat) merepotkan!
"Aku bilang mau datang sama sahabatku, aku sekalian mau kenalin dia sama kamu." Lanjutnya lagi
Ah... itulah bodohnya kamu. Tanpa mengajakku saja pria itu pasti enggan datang menemui mu, apa lagi kamu datang bersamaku--yang kau sebut sahabatmu-. Ah, sahabat apa! Kamu bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada kami berdua beberapa tahun belakangan. Tentu, sebelum ketidaksengajaan yang mempertemukanmu dengannya (yang kamu sebut so sweet itu).
"Aku mau ke toilet." Kataku pendek sambil beranjak.
Aku akan menenangkan diri, sepertinya aku gugup. Walau aku yakin pria itu tidak akan hadir. Tentu, resiko terbesatnya adalah bertemu denganku.
Aku berjalan di koridor menuju toilet. Sepi, hanya bunyi telapak sepatu yang berhentakan dengan permukaan keramik mahal di bawahnya.
"Naaa..." Suara itu lirih. Lirih sekali, tapi aku mendengarnya dan menoleh.
Bodoh sekali kamu... kenapa kamu datang? Bukankah seharusnya kamu tidak akan datang? Aku tahu kamu, kamu pasti tidak akan datang. Tapi, tapi ...
"Aku mencintaimu..." Masih dengan lirih.
Kamu bodoh.
Aku acuh, tetap berjalan tegap di koridor sepi. Bersenandung dengan ketukan nada dari instrumen telapak sepatu dan permukaan keramik mahal.
Cahhh jadi selingkuhan toh mbak?
:D
bukan, tapi diidolakan sama orang *ceritanya :D*